Bagaimana membuat lirik lagu Banyuwangi yang indah ?

Sebuah catatan perbincangan dengan Bpk Andang CY, pencipta lagu-lagu using.

Siang terik tanggal 14 Mei 2017 setahun yang lalu, Andang CY terlihat baru terbangun dari tidur. Dering handphone baru saja membangunkannya. Sejawatnya Hasnan Singodimayan mengabarkan, tentang rencana sowan saya ke Welaran. Wajahnya tampak pucat, kurang begitu sehat. Lirih terdengar, kami dipersilahkannya duduk. Arine anak bungsu saya, menyapanya dengan bersalaman mencium tangan. Saya jadi agak sungkan, karena menggangu istirahatnya.

Setelah greeting, saya awali dengan pertanyaan menggoda, dengan harapan akan mengusik naluri seninya untuk membuyarkan kantuknya. “Pak Andang, Banyuwangi memiliki 2 (dua) PR (Pekerjaan Rumah) yang belum terselesaikan, yang mengancam kesinambungan rantai kesenian ?!” “Apa itu ?” jawabnya dengan antusias berona kaget.

“Pak Andang…. Banyuwangi memang telah mampu membuat anak muda menari Gandrung, tapi sayang masih diiringi Compact Disk (CD) atau Wiyogo dengan Sindennya. Bagaimana kalau Temuk, Supinah dan Koesniah gak sempat mengajarkan ? Bukankah dalam gandrung menari dan menyanyi adalah satu paket kemasan” ? beliau terlihat manggut-manggut, menerawang jauh. Lalu sayapun melanjutkannya : “Sedangkan yang kedua, mengapa lirik Banyuwangi sekarang kurang indah dan tak memiliki nilai Seni ? Seperti sekedar mencomot percakapan sederhana sehari-hari untuk dijadikan lirik lagu. Tidak ada lagi bangsalan, amanat atau diksi indah lagi” panjang lebar saya menceritakan tuduhan kekwatiran saya pada fenomena itu.

Rupanya pancingan saya berhasil, beliau mulai terusik. Ditanggapinya satu persatu pertanyaan saya. “Penari Gandrung yang tak bisa menyanyi adalah PR kita bersama … Tidak cukup hanya menjadi tanggung jawab para seniman senior, tetapi harus melibatkan seluruh komponen masayarakat. Termasuk pihak Pemerintah, tetapi sayangnya pemerintah itu sendiri terlalu asik bermain-main politik.”

“Tari terasa hanya sebagai seni gerak saja, sedangkan menyatukan dengan olah vocal justru menjadi keunikan yang rumit bagi mereka. Sebetulnya usaha untuk itu sdh terpikirkan, tapi blm perbuatan nyata. Dibidang politik dan ekonomi sudah dilakukan, tetapi belum menyentuh Budaya. Padahal ini yang paling “KETORO”, imbuhnya.
Seniman yang sudah malang melintang dan produktif sejak tahun 1965 hingga tahun 1990 itu mengatakan, penyebab turunnya kualitas lirik Lagu Using adalah adanya fenomena pencipta lagu yang ingin mendapatkan uang secara cepat. Menurut Andang CY, sebenarnya ini adalah gejala wajar yang timbul karena perubahan jaman. Pengaruh dari kebutuhan, pergesekan dan akulturasi dari luar daerah bahkan dunia barat menimbulkan banyak perkembangan berkesenian selanjutnya.

“Dalam pengalaman saya menciptakan lagu Banyuwangi, seharusnya penulis lagu jangan dibatasi target penyelesaian, tetapi tergantung situasi dan intuisi yang menginsipirasinya. Misalnya saat pengalaman saya bekerjasama dengan Basir Noerdian, sebuah lagu bisa diciptakan bersama secara Sak Det Sak Nyet . Tetapi bisa juga sampai mengalami perubahan 2 (dua) sampai 3 (tiga) kali. Tetapi kami tidak merasa dikejar-kejar untuk menyelesaikannya” ujarnya serius.

Didalam proses kolaborasi elaborasi membuat lagu, perlu selalu dibangun kedekatan psycologist untuk terciptanya chemistry. Kedekatan dengan seniman lain harus dilakukan dengan jalan saling silaturohim. “Saya sangat dekat seperti Saudara dengan Basir Noerdian dan Machfud atau yang lainnya, demikian kami saling pengaruh mempengaruhi, karena lagu dan lirik itu satu kesatuan utuh. Machfud kalau ke rumah saya rokoknya selalu dedegan, karena sudah sangat dekat seperti keluarga sendiri”.

“Kemampuan membaca gagasan partner adalah satu hal penting, karena akan memberi kemudahan dalam menerjemahkan melodi atau lirik yang diciptakannya. Baik lagu diciptakan terlebih dahulu ataukah lirik yang lebih awal dibuat. Machfud acap menyodori saya untuk mendengarkan solmisasi lagu, saya selalu berusaha memahaminya, maka jadilah Perawan Sunti. Atau misalnya saat pembuatan Lagu Umbul-umbul Blambangan, dengan Basir Noerdian. Dimulai dengan saya berdeklamasi didepannya menyodorkan lirik ciptaan saya, kemudian Basir Noerdian menerjemahkan secara musikalisasi. Kita saling diskusi intens, apalagi saat membuat aransemen choir sampai 4 (empat) tingkat suara untuk menemukan kesesuian antara lagu dan lirik. Bayangkan lagu itu sendiri kami ciptakan pada tahun 1974, lalu kemudian dipopulerkan oleh murid-murid SPG (Sekolah Persatuan Guru) Pandan Genteng. anehnya baru menjadi terkenal setelah 20 (duapuluh) tahun kemudian, ketika dibawa oleh team Bupati Syamsul pada tahun 1994 ke Jakarta”.

“Yang paling penting bagi pencipta lagu Using, adalah mampu menggali potensi kearifan lokal Banyuwangi itu sendiri. Gak perlu jauh-jauh, cukup menangkap dan melatih kepekaan menangkap fenomena lingkungannya, cukup dari kehidupan keseharian saja banyak hal yang bisa diungkapkan melalui lirik lagu. Kehidupan sehari-hari bisa dijadikan sumber insiprasi. Sambate wong banyuwangi iku bidoh, jangan gampangan memasukkan kalimat dari luar karena sangat tidak tepat karena berbeda rohnya. Ini penting harus diperhatikan, karena itu bukan sebuah ungkapan, seni itu bukan dagelan. Contoh perhatikan lirik lagu Podo Nonton, ketika berkata “Kembang Menur, melik-melik ring bebentur Ya, sun siram alum, sun petik nyirat ati Lare angon, gumuk iku paculana Tandurana kacang lanjaran, sak unting ulih perawan” ini sangat luar biasa idiomnya …!!!” .
“Didalam menciptakan lagu saya slalu berusaha mencari diksi yg njlimet, yang justru saya tangkap dari kehidupan sehari-hari” sambungnya. “Saya slalu berusaha sempatkan mendengar percakapan alami dilingkungan saya dimanapun di Banyuwangi, demi mengumpulkan diksi indah yang jarang terdengar atau dipakai. Sehingga nantinya akan ditemukan kata-kata yang memang betul-betul pilihan. Bahkan saya memiliki buku khusus untuk mencatat kosa-kata itu, bahkan sering saya catat hanya diselembar kertas bungkus rokok yang kemudian saya salin dirumah. Perhatikan secara detail makna perbedaan pada setiap kosakata, misalnya untuk menggambarkan seorang jatuh saja kita memiliki banyak kosa kata yang memiliki makna berbeda : njekapang, keserep, kesandung, kedlinges, keseleo dll” tandasnya

“Ini yg perlu saya sampaikan kepada penerus, jangan sampai cari (musik/lirik) diluar, didalam Banyuwangi sudah lengkap, kalau mengadopsi dari luar itu beda rohnya. Apa yang tidak ada di Banyuwangi ? Contoh di Temenggungan, tempat lahirnya kesenian. Semua sudah ada dan tersedia mulai dari : Angklung, ketroprak, gandrung, dll dan itu merupakan asset yang sangat luar biasa untuk digali dan dikembangkan. Yang lebih menyedihkan hati saya kalau lagu barat, india, sunda, tapi diterjemahkan atau disyairi lagu Banyuwangian, kan sangat gak klop !?”

Kamipun kemudian mengobrol panjang lebar, tentang betapa nikmatnya berekspresi berkesenian dijaman sekarang. Bercerita tentang tekanan dan kecurigaan penguasa terhadap seniman pada jaman dulu. Sayapun menyimak dengan sesekali menimpalinya. Ketika saya ajak beralih thema pembicaraan ke dunia sastra, saya takjub terpukau ketika mendengarkan dibacakannya sebuah puisi WS Rendra yang sangat dihapal diluar kepala. Rasanya tak habis thema berbincang. Suara adzan azar sangat keras terdengar dari langgar depan rumah Pak Ashari, saya harus meyudahi pertemuan dan membangunkan Arine -anak saya- yang terlelap dikursinya karena tidak paham diskusi kita siang itu. Ternyata itu pertemuan one-on-one yang pertama dan yang terakhir dengan Sang Maestro. Selamat Jalan Sang Maestro…..Selamat Jalan Pak Andang, doa kami menyertai, terima kasih kami haturkan atas dedikasimu untuk Banyuwangi…

Lumajang, 06 Mei 2018 - Elvin Hendratha