Jaran Ucul lagu Using bernuansa perjuangan



Jaran Ucul lagu Using bernuansa perjuangan
Oleh Elvin Hendratha

Kali pertama idiom “Jaran Ucul” dimunculkan, para penikmat musik Banyuwangi menjadi keheranan. Diksi nakal penggoda telinga pada sebuah lagu indah itu, mulai marak diperbincangkan. Dengan gagah para sopir ramai-ramai membuat graffity “Jaran Ucul” di mobilnya. Bahkan Pomo Martadi (Wartawan/Seniman) sengaja menamakan club jalan paginya “Jaran Ucul”, walhasil anggota club yang terdiri dari para wartawan Banyuwangi mempertanyakannya. Dengan enteng Pomo menjawab sambil tertawa : “Bukankah, Mahawan yang mengarang (lirik) lagu itu profesinya wartawan juga ?”

Seminggu setelah merampungkan lagu ciptaannya, Mahawan dibisiki BS Noerdian : “Lagu kita Jaran Ucul ini, pasti akan meledak dan popular di masyarakat”. Ramalan BS Noerdian menjadi kenyataan, Jaran Ucul menjadi lagu yang sangat disukai hingga saat ini. Kepopulerannya merambah diluar Banyuwangi bahkan menembus genre music lain, menjulur panjang merentang waktu. Bahkan idiom “Jaran Ucul”, menjangkiti pencipta lagu-lagu hingga sekarang. Jarane wis kadhung ucul !!! Coba perhatikan juga lagu baru tahun 2018 yang berjudul meniru sama “Jaran Ucul”, jelas sangat jauh berbeda makna dan amanat yang terkandung didalamnya.

Kemisteriusan lagu menyimpan rahasia amanat yang belum tersibak, melahirkan mutitafsir para penikmat. Tampaknya amanat sengaja disembunyikan dibalik diksi konotatif, menyembunyikan kesedihan dalam bungkusan rapi aransemen ceria. Sejalan dengan waktu tak pelak acap membuat lirik, mengalami metamorfosa. Bahkan tak tahu wujud asli “Jaran”-nya. Berpendar menjauh, dari sebuah Puisi Using indah yang diciptakan Mahawan.

Jaran Ucul adalah lagu Banyuwangi yang diciptakan oleh BS Noerdian dan Mahawan pada sekitar tahun 1976. Rekaman kaset pertama dinyanyikan Siti Maswah, dengan arransemen music angklung oleh Soetedjo Hadi. Lagu dimulai oleh idiom nakal penggoda telinga, yang juga menjadi judul lagu. Diawali oleh “ringkikan” mengembara Sang Kuda, serta diakhiri kerinduan anak istri yang mengharu.

Selain mempunyai komposisi lagu yang sangat indah, lagu Jaran Ucul ini juga memiliki kekuatan lirik yang mampu menyihir penikmat. Walupun tidak mudah menangkap amanat yang ingin disampaikannya, tapi setidaknya terlihat ada pilihan diksi lirik yang menggiring kedalam satu persepsi yang sama, yaitu : "ada pesan tersembunyi yang ingin disampaikan atau diteriakkannya". Saat BS Noerdian ditanya kerabatnya, tentang makna multitafsir lagu Jaran Ucul : “Sir, Jaran Ucul iki karepe kelendi”. Sambil tersenyum dijawabnya : “Lahhh, hing weruh isun, takokno ning Mahawan !!”

Tulisan ini memang sengaja mengajak merunut memasuki gerbang kedalaman latar belakang proses penciptaan lirik lagu Jaran Ucul, agar ditemukan amanat yang sebenarnya. Mengais kedalaman berpikir, agar tidak membias menjadi salah interprestasi terhadap pesan suci yang dibangun si Pencipta.

Kisah dibalik terciptanya lagu Jaran Ucul.

Corat-coret kecil di buku notes saat dibawah pohon waru sambil merenung memandang selat Bali di pantai boom, melahirkan karya puisi yang diberi judul Jaran UCUL. Dengan bergegas Mahawan menemui sejawatnya BS Noerdian, menyodori kertas ketikan salinan karyanya itu, untuk dijadikan sebuah lagu. Dari secarik kertas puisi using itu, BS Noerdian berusaha membantu menangkap perasaan kawannya kedalam susunan notasi. Hasilnya sangat luar biasa, sebuah lagu indah terlahir, seperti yang kita nikmati sekarang. Jaran Ucul tidak hanya dinyanyikan orang Banyuwangi, bahkan hampir seluruh Campur Sari diam-diam menjadikannya sebagai salah satu “lagu wajib” pertunjukkan.

Jaran Ucul itu sebenarnya adalah puisi using yang dilagukan. Mahawan memang memiliki keahlian dalan membuat puisi using, puisi-puisinya sangat indah. Sangat Maghfum. Pada tahun 1976, puisi Mahawan berjudul “Dhedhali Putih (kanggo mbok Sri Tanjung)” adalah pemenang lomba penulisan puisi using saat HUT VIII Radio Khusus Pemerintah Daerah (RKPD) “Suara Blambangan”. Kemenangan Mahawan menyisihkan nama besar seniman Slamet Utomo, adalah sebuah keputusan sulit para juri saat itu. Perdebatan berakhir dengan kesimpulan bahwa, pada puisi Mahawan terdapat terobosan pembaharuan puisi using dalam sastra Banyuwangi. Begitulah Mahawan.

Membahas lirik lagu Jaran Ucul tidak boleh terlepas jalinan latar belakang intuisi proses penciptaannya. Bagaimanakah latar belakang insiprasinya, yang merupakan hasil pengembaraan cerita kehidupan yang melatar belakangi penulis ? Puzle-puzle perjalanan peristiwa spiritual psycologist tercatat jelas dalam alam pikirnya, menggelora untuk dirangkai menjadi satu bingkai karya indah.

Beberapa catatan pengalaman dan cerita peristiwa pencipta berikut ini, menjadi bagian yang menginspirasi proses pembuatan lagu Jaran Ucul dalam rangka ngeronce makna syair :

• Menjelang Agresi Militer Sekutu pada bulan Puasa di bulan Juni 1947, seorang anggota Pasukan 0032 bernama Bilal, menjumpai kakaknya Darmo di lapangan SIngojuruh. Bilal adalah serdadu yang menjaga Pantai di Banyuwangi, sedangkan Pak Darmo adalah guru SDN Balak Rogojampi, yang juga merupakan intelejen dan pengumpul logistic untuk para pejuang. Selain bertugas sebagai pengumpul data intelijen, Darmo juga bertugas mengumpulkan bantuan logistic untuk pejuang dari toko kelontong milik cina di daerah Balak, Songgon, Rogojampi, Singojuruh dengan sepedanya.
Bilal anggota Pasukan 0032 menemui Darmo kakaknya untuk menyampaikan informasi, bahwa Pasukan Belanda berhasil mendarat di Pelabuhan Ketapang, dan akan memasuki Kota Banyuwangi. Untuk itu Bilal menyarankan agar Darmo masuk ke pedalaman untuk sembunyi di hutan, sedangkan Bilal akan bergabung ke melakukan perlawanan di Pos-pos penjagaan yang sudah ditentukan.Pelukan terakhir Bilal kepada kakaknya, karena akhirnya Bilal gugur sebagai Kusuma Bangsa.

• Masih pada Agresi Militer 1947, seorang tantara Belanda dari pasukan sekutu dengan kasar mendatangi Mbah Tadjib, suami Mbah Marweni saat berbuka puasa. Sepatu larasnya naik ditaruh diatas kursi seraya berkacak pinggang, membentak menanyakan tentang keberadaan Darmo anaknya. Walau tahu bahwa Darmo sudah bersumbunyi didalam hutan, keberadaan Darmo tetap tak diinformasikan kepada Belanda. Kemana larinya Darmo, pertanyaan itu terus mengiang-ngiang disembunyikan di kelu lidah dari anak dan istri Darmo yang terus menyaksikan peristiwa itu.

• Tak lama kemudian Darmo tertangkap dan di tahan di Markas Inggrisan, sejumlah keluarga mengintip melalui lubang penjara. Terlihat jelas keadaan Darmo masih dalam kondisi baik-baik sedang menulis sesuatu didalam penjara. Legalah mereka melihatnya. Tak lama berselang Darmo dibebaskan dari Markas Inggrisan. Darmo pulang dari Banyuwangi ke Singojuruh dengan naik Kereta Api. Seluruh warga Singojuruh berbondong-bondong menyambut kedatangannya di Stasiun Singojuruh dengan suka cita, seraya seraya meneriakkan pekik Merdeka. Kembalinya Darmo dari penjara Markas Inggrisan sangat disyukuri warga. Darmo memang sangat dicintai warga Singojuruh, dihargai sebagai pahlawan yang berani melawan Belanda dengan caranya. Kelak Darmo dihormati negara sebagai anggota Veteran Pejuang Kemerdekaan Golongan A.

• Pada peristiwa lain yang berbeda ruang dan waktu, seorang kusir dokar bernama Azhari dari kelurahan Penganjuran kehilangan kudanya. Kuda itu terlepas lari meninggalkan tuannya. Peristiwa dramatis terlepasnya kuda Azhari itu tanpa sadar dipotretnya kedalam alam bawa sadarnya yang kelak menjadi sebuah insipirasi. (bagian ini menjadi alasan yang gampang disampaikan, bila ada yang menanyakan terkait multitafsir amanat lirik).

Rangkaian puzzle : peristiwa berpelukan pamit kedua kakak beradik Darmo dan Bilal, peristiwa kepongah Penjajah yang berkacak pinggang menanyakan Mbah Tadjib tentang keberadaan anaknya Darmo, peristiwa tertangkap dan dipenjaraknnya Darmo di Inggrisan, serta peristiwa suka citanya masyarakat atas pembebasan Darmo di Stasiun Singojuruh, menjadi bagian yang terus hadir dalam ingatan penulis lirik.

Darmo dan Bilal, yang ternyata adalah bapak dan paman Mahawan itu telah menghadap Sang Pencipta, tetapi peristiwa-peristiwa itu telah meninggalkan goresan potret ketegaran semangat juang. Demikian juga bayangan ketegaran sang ibu, ketika dirundung godaan janji-janji manis tentara-tentara Belanda yang merayunya, sebegitu kuat menginspirasi pembuatan lagu Jaran Ucul.

Disisilain peristiwa terlepasnya Kuda Azhari, yang menginsipirasi Mahawan dalam berproses pembuatan lirik lagu Jaran Ucul, juga sempat menginsiprasinya dalam karya lain yaitu pembuatan foto yang dimuat di Surabaya Post pada tahun 1980 dengan judul : “Diperkuda-kuda”. Peristiwa saat Azhari berdiri di punggung kuda untuk memijit kuda kesayangannya, berhasil diabadikan menjadi karya photo.

Berbeda dengan BS Noerdian, Mahawan adalah tokoh dibelakang layar terciptanya lagu-lagu indah di Banyuwangi. Siapa Mahawan ? Mahawan adalah Taufik ismail-nya Banyuwangi, dahulu Mahawan aktif membantu teman musisi dalam menciptakan lirik lagu-lagu Banyuwangi.

Beberapa lirik lagu hasil ciptaannya antara lain : "Jaran Ucul", "Ciblungan", "Ketang-Ketang", "Nyeser Nener", "Muncar", "Inthing Inthing Es" adalah sebagian lagu yang diciptakan bersama BS Noerdian. Sedangkan "Wes Menenga" dan " "Nyebar Jala" adalah lagu yang diciptakan bersama Machfoed Hr.

Coba perhatikan catatan lagu JARAN UCUL yang asli, belum mengalami perubahan ini :

JARAN UCUL

Lagu : BS Noerdian
Lirik : Mahawan
Vokal : Siti Maswah
Arranger : Soetedjo Hadi
Tahun : 1976

Jaran ucul, nyengrang-nyengring suwarane
Ana paran, njaluk mangan tah, njaluk ngombe
Ring tegalan sukete mageh keleleran
Ring belumbang, banyune mageh deleweran

Masiya suket emas, isun sing kepingin
Banyu Berliyan pisan, isun sing kepingin
Anak isun kang ana umah padha tangisan
Ngangeni bapake kang urip sak dalan-dalan

Beberapa kata dalam syair lagu Jaran Ucul mengalami perubahan ketika dinyanyikan oleh masyarakat umum, antara lain sebagai berikut :

• Pada larik “Jaran ucul, nyengrang-nyengring suwarane “, terdapat kata “nyengrang-nyengring” yang ternyata diucapkannya berbeda-beda, yaitu : “Senggrang-Senggring” atau “Senggrang-Senggrang”. Sumiati dengan jelas merapal : “Senggrang-senggrang” sedangkan Gandrung Supinah jelas mengucap “ “Senggrang-Senggring”. Terdapat perbedaan fungsi kata, Kata “Sengrang-Sengring” merupakan kata benda, tetapi bila “Nyengrang-Nyengring” merupakan kata kerja. Menurut Mahawan kata yang benar adalah “nyengrang-nyengring”, ketika saya tanya apakah kata ulang “nyengrang-nyengring” telah memenuhi kaidah Tata Bahasa Using ? Dijawabnya dengan diplomatis, bahwa kata itu sudah ada sejak dulu dan tugasnya hanya mengangkatnya dari dasar bumi Belambangan.

• Pada larik “Ring belumbang, banyune mageh deleweran”, terdapat kata “deleweran” yang ternyata diotak atik sahabatnya Andang CY menjadi “Deredesan” tanpa sepengetahuannya. Sehingga beberapa penyanyi mengucapkan “Deredesan”. Bagi Mahawan penggunaan kata “Deredesan” sangat tidak pas, lebih tepat menggunakan kata “deleweran”, ujarnya tanpa penjelasan. Sebenarnya kalau diperhatikan persoalannya ada pada subyek yang akan dibahas, apakah “Banyu” ataukah masih “Jaran”. Jika Mahawan meyakini bahwa itu harus kata “deleweran”, berarti pendekatan yang dilakukan Mahawan, bahwa “Banyu” itu ndelewer sebagaimana air liur “Jaran” yang menetes di mulutnya. Dan itu harus menggunakan kata “deleweran”, bukan “Deredesan” yang biasanya diperuntukkan kepada “Banyu” bukan kepada binatang. Menurut Hasan Sentot, itu semua merupakan hiperbol buat “penyangatan” (seru nemen). Disini Mahawan jelas mengajak masuk kedalam bingkai imajinasi “Jaran”.

• Pada larik “Banyu Berliyan pisan, isun sing kepingin”, banyak yang menggunakan kata “isun sing perduli”. Pada bagian ini ternyata perubahan kata “Kepingin” menjadi “Perduli” dilakukan oleh BS Noerdian. Bagi Mahawan, penggunaan kata “Perduli” sangat tidak tepat dan kurang puitis. Karena kata “Kepingin” itu sendiri merupakan perulangan dari larik diatasnya untuk mengejar keindahan. Padahal bila ditinjau dari guru wilangan dan notasi, kedua kata itu sama saja tidak jadi masalah. Mungkin lebih terkait keindahan dan makna. Disisi lain kata “perduli” yang juga biasa dipakai oleh Orang Using, merupakan kata serapan dari Bahasa lain.

• Pada larik “Ngangeni bapake kang urip sak dalan-dalan”, banyak yang keliru merapalkannya kata “Ngangeni” dengan kata “Ngenteni”. Secara keindahan dan struktur puisi atau notasi perubahan ini tidak menjadi persoalan. Namun berbeda bila dikaitkan dengan perasaan “Sang Anak”, diksi “Ngangeni” bagi Mahawan sudah sangat mewakili perasaaanya yang rindu kepulangan bapaknya ketika ditangkap Belanda. Pilihan kata yang sudah dipilihnya harusnya tak berubah karena terkait perasaan si pencipta.

Dari tulisan diatas telah tergambar jelas bahwa pembuatan “Jaran Ucul”, yang kemudian menjadi lagu yang disukai itu, bukanlah sebuah proses yang sangat pendek dan mudah. Pemilihan kosa kata betul-betul dilakukan secara detail oleh penyair dalam menangkap insipirasi peristiwa yang melatarbelakangi. Melalui detail kata, diterjemahkan secara notasi untuk bisa bercerita. Juga makna yang terkandung didalamnya sangatlah dalam, dilatar belakangi perjuangan pada masa Agresi Militer Belanda ke-dua pada tahun 1947. Setelah 40 (empat puluh) tahunan, Mahawan bersama BS Noerdian melepas “Jaran-nya yang Ucul” guna menghibur masyarakat Banyuwangi, barulah tersibak ada amanat apa didalamnya. Terima kasih kami ucapkan kepada Pak Mahawan dan Pak Basir Noedian. Tabik. (elv)

Lumajang, 10 Maret 2019