METHAMORFOSA LAYAR KUMENDUNG






METHAMORFOSA LAYAR KUMENDUNG
oleh Elvin Hendratha

Banyak orang bersepakat bahwa “Layar Kumendung” itu adalah satu kesatuan lagu/gending yang berdiri sendiri. Tetapi untuk menelaah lirik “Layar Kumendung”, ada baiknya kita membuka bersama buku “Gandrung itu bukan Seblang” yang ditulis oleh Fatrah Abal halaman No.48.

Dapat saya simpulkan bahwa menurut Fatrah sebenarnya “Layar Kumendung” itu merupakan patahan lagu Sekar Jenang, yang bersumber dari rangkaian lagu-lagu ritual Tari Seblang. Lagu-lagu Seblang itu merupakan satu rangkaian alur cerita yang teronce bersangkut paut, bak setusuk kembang dirmo. Gending Seblang merupakan satu artefak paling tua, maka guna merunut napak tilas jejak misteri Layar Kumendung, paling ideal adalah melalui catatan Lagu-lagu Seblang itu sendiri.

Dalam catatan Fatrah Abal, kata dan lagu “Layar Kumendung” ditulis dalam susunan sbb :

Sekar Jenang

Sekar-sekar jenang
Maondang dadari kuning
Temuruna ageng alit
Kaula nyuwun sepura

Layar-layar kumendung
Umbak umbul ring segara
Segarane tuan agung
Tumenggung numpak kereta

Lilira Kantun
Sang Kantun lilira putra
Sapanen dayoh rika
Mbok srungkubo milu tama

Lilira guling
Sabuk cinde ring gurise
Kakang-kakang ngelilira
Sawah benda ring selaka

Memperhatikan catatan Fatrah Abal diatas, maka dapat saya dapatkan beberapa hal menarik sbb :

1. “Sekar Jenang” vs “Layar Kumendung”.

Fatrah Abal mencatat detail lirik lagu tersebut dengan judul “Sekar Jenang”, artinya lagu itu jelas bernama “Sekar Jenang” bukan “Layar Kumendung”. Kata “Layar Kumendung” baru didapatkan dalam larik pertama pada bait kedua.

Kalau kita perhatikan, dalam praktek pertunjukan live di lapangan, gending-gending Seblang sering dimampatkan lebih singkat. Sengaja diperpendek disesuaikan berdasarkan : luas stage, durasi, selera, animo, dan profile penonton.

Patahan-patahan bait lagu bermetamorfosa menjadi serpihan lagu baru. Biasanya patahannya terdiri dari 2 (dua) bait, dari rangkaian 4 (empat) atau lebih bait-bait yang ada. Setiap selesai melantunkan 2 (dua) bait berikutnya, biasanya dibawakan gending “non klasik” yang dipadati “basanan” atau “wangsalan” yang merupakan permintaan “pemaju gandrung”.

Dari catatan Fatrah Abal dapat saya simpulkan,bahwa Fatrah mengkatagorikan bait-bait “Layar Kumendung” sebagai bagian lagu “Sekar Jenang”. Patahan lagu utuh “Sekar Jenang” menjadi lagu baru yang dinamakan “Layar Kumendung”.

Tradisi memotong lirik dan lagu dikalangan seniman dan koreografi di Banyuwangi masih terjadi dan sangat lazim hingga sekarang. Terlebih saat era Gandrung Kaset. Semestinya dibedakan antara lirik lagu yang liriknya bebas dan terikat. Bahkan dalam seni lagu-lagu Banyuwangi, kebebasan itu sendiri artinya bebas beryarat. Seperti pada Lagu Gurit Mangir. Meminjam istilahnya Nanang YZ, "Bebas tegese sakmarine larik basanan kawitan, basanan hang sakteruse ulih lan bebas sak karepe, paran jare penembang. Bersyarat tegese wis dadi PELANGGERAN LARIK BASANAN KAWITAN iku WAJIB / FARDLU AIN hukume kudu ono pengucap (kata) GURIT."

2.Nama Lagu.

Mengacu tulisan Fatrah Abal, lagu “Sekar Jenang” terdiri dari 4 (empat) bait, masing-masing bait terdiri dari 4 (empat) larik yang bersangkut paut antara yang satu dengan lain. Proses penggalan menjadi 2 (dua) bait yang dilakukan penyanyi, menimbulkan lahirnya penamaan serpihan bait-bait dengan “judul baru”.

Penamaan lagu baru sebagai tetenger, memanfaatkan kata-kata pada larik pertama dari 2 (dua) bait yang dilantunkan, memunculkan judul/julukan lagu baru. Perhatikan lagu-lagu seperti : “Layar Kumendung”, “Kembang Menur”; “Kembang Gadung”, “Kembang Abang” dll. Hakekatnya adalah kata-kata pertama dalam sebuah bait, yang berasal dari rangkaian sebuah lagu utama.

3.Susunan Bait.

Urutan bait dari lirik lagu sesuai catatan Fatrah Abal, sangat berbeda dengan urutan bait pada lirik lagu yang dibawakan oleh Gandrung. Gandrung Soepinah dan Gandrung Koesniah, meletakkan bait kedua “Layar Kumendung” pada awal lagu, sehingga penamaan Gendingpun bergeser menjadi “Layar Kumendung”, bukan “Sekar Jenang”.

Bait pertama “Sekar Jenang” justru diletakkan pada ending lagu sebagai klimak lagu. Bahkan sebagian orang menganggap bahwa bait lirik “Sekar Jenang” adalah lagu tersediri, bukan bagian dari “Layar Kumendung”. Bisa jadi Fatrah salah catat, atau kedua Gandrung sengaja membaliknya karena dianggap mampu lebih memompa adrenalin penikmat, agar bergerak menanjak dari situation syahdu menuju klimak lagu yang lebih dinamis.

Metamorfosa layout bait, juga bisa disebabkan salah interprestasi dari para seniman atau budayawan setelah era Si Pencipta lagu. Saya menduga penyebabnya adalah larik yang berbunyi : “Kaula nyuwun sepura”. Kalimat ini mengandung arti “Saya meminta maaf”, kalimat yang biasanya dimohonkan seseorang pada akhir pertemuan. Ada dugaan terjadi kesalahpahaman didalam mengartikan permohonan maaf tersebut, padahal permintaan maaf itu, (kalau susunan lirik Fatrah itu benar) oleh penulis dimaksudkan ditujukan kepada subyek yang diceritakan, bukan kepada penikmat.

4.Perubahan Kata.
Dalam catatan Fatrah Abal, banyak kosa kata yang jelas berbeda dengan yang didendangkan Gandrung Koesniah dan Gandrung Soepinah. Bahkan Gandrung Soepinah sendiri juga berbeda dengan Gandrung Koesniah ketika melafalkan kata : “lilira-lilira” dengan “lira-lira”. Kata aneh yang tak terdapat di Kamus Bahasa.

Dalam proses pelestarian, jejak lirik dan kosa kata dalam Seblang sering absurd, karena dilakukan hanya dari lisan ke lisan. Banyak perbedaan kosakata karena salah dengar ataupun salah sebut. Banyak kesalahan dan perbedaan kosa kata, akan menimbulkan miss interprestasi dan kesulitan menangkap amanat dari pencipta.

Varian diksi diyakini merupakan factor panca indra (salah ucap dan salah dengar) dan minimnya administrasi pencatatan pada jaman dahulu. Namun sebaliknya perubahan kosa kata pada lirik lagu, juga bisa disebabkan kesalahan Fatrah dalam mencatatnya.

Budayawan Hasnan Singodimayan justru tega menuduh “Pengudang” memiliki peran besar menyebabkan munculnya distorsi kosa kata dan diksi, yang sebenarnya berfungsi sebagai petunjuk/guiden penyanyi untuk melantunkan chapther lirik berikutnya.

Coba perhatikan juga susunan lirik lagu versi lain, yang dinyanyikan oleh Gandrung Koesniah dan Gandrung Soepinah. Hampir sama dengan Layar Kumendung versi Gandrung Koesniah, Layar Kumendung versi Soepinah memiliki letak urutan bait-bait yang sama. Dimulai dengan kata “Layar Kumendung”, ditutup dengan kata “Kaula Nyuwun Sepura”. Perhatikan juga huruf pada varian-kata yang saya pertebal :

Layar Kumendung
(versi Gandrung Soepinah)

Layar-layar kumendung
Umbak umbul ring segara
Segarane tuan agung
Tumenggung numpak kereta

Lilira-lilira Gileh
Sabuk cinde ring gurise
Kakang-kakang yoro ngelilira
Sawah benda gelang seloko

Lilira-lilira Kantun
Sang Kantuno lilira yogo
Dayo riko mbok Suprobo
Milu Tama

Sekar-sekar jenang
Maondang dadari kuning
Temuruna ageng alit
Kaula nyuwun sepura

Perbedaan kata atau diksi antara Lirik Fatrah Abal dengan Soepinah saya asumsikan disebabkan beberapa hal, yaitu : salah dengar, kenyamanan dan interprestasi penyanyi/seniman, lupa kata, lupa mengingat, keseleo lidah (slip of tongue), salah penempatan jedah.

Soepinah jelas membalikkan urutan bait kedua dan ketiga, berbeda dengan susunan bait dari lirik lagu yang bersumber dari Fatrah Abal dan Koesniah. Bait “Lilira-lilira Gileh” (Fatrah mencatatnya dengan “Lilira-lilira Guling” dan Koesniah mengucapkannya dengan “Lira-lira Gileh) sengaja ditaruh di urutan kedua, baru sesudahnya disambung dengan bait “Lilira-lilira Kantun” (Koesniah melafalkannya dengan “Lira-lira Kantun”).

Penggalan Soepinah dalam bait “Lilira-lilira Kantun”, saat pada 2 larik akhir menimbulkan perbedaan arti yang sangat fatal. Terjadi pergeseran Subyek dan predikat, perhatikan bait Soepinah sbb :

Lilira-lilira Kantun
Sang Kantuno lilira yogo
Dayo riko mbok Suprobo
Milu Tama

Perhatikan juga bait Fatrah Abal sbb :

Lilira Kantun
Sang Kantun lilira putra
Sapanen dayoh rika
Mbok Suprobo milu tama

Disini juga terjadi perbedaan kata dengan kata lain yang bersinonim, seperti yang dilakukan Soepinah (dalam hal ini Soepinah sama dengan Koesniah) menyebut anak dengan kata kromo “YOGO” yang berbeda dengan catatan Fatrah Abal yang menyebutnya dengan “PUTRA”. Penggantian ini bukan hal sederhana karena keterkaitannya dengan kasta subyek dan obyek yang diceritakannya.

Perbedaan kata yang lain pada kata : “Sawah Bendo Gelang Seloko” ( larik Soepinah sama dengan Koesniah), dalam catatan Fatrah Abal justru memiliki makna yang berbeda disebabkan munculnya kata sambung “ring”, “Sawah Bendo ring Seloko”

Menelaah lirik versi Gandrung Koesniah, lebih menarik lagi coba perhatikan. Kemanakah larinya Mbok Suprobo ? Ada yang tahu ? Mengapa Koesniah menggunakan diksi 'nunggang", bukan "numpak" layaknya lirik dalam catatan Fatrah Abal atau alunan suara Soepinah ?

Layar Kumendung
versi Gandrung Koesniah

Layar-layar kumendung
Umbak umbul ring segara
Segarane tuan agung
Tumenggung nungang kereta

Lira-lira Kantun
Sang Kantuno lilira yogo
Jare Paman yoro ngeliliro
Sawabendo milutomo

Lira-lira gileh
Sabuk cinde ring gurise
Kakang-kakang jare paman riko ngelilira
Sawah benda gelang seloko

Sekar-sekar Jenang
Maondada dari kuning
agung alit Temuruna
Kaula nyuwun sepura

Akhirnya agar bisa menangkap amanat pencipta, tentunya analisa harus dilakukan secara komprehensip. Dalam melakukan telaah obyek lagu, harus dilakukan pada satu kesatuan gending yang utuh, runtut dan asli, agar amanat yang ingin disampaikan Pencipta dapat ditangkap. Menerjemahkan lagu “Sekar Jenang” tidak bisa dilakukan secara parsial, misalnya hanya terfocus pada beberapa bait saja. Terlebih bila setiap kata dalam lagu sudah mengalami distorsi, atau terbolak-balik larik atau urutan baitnya....

Dalam proses “penyederhaaan gending” menimbulkan belahan “lagu baru”, konsekwensinya pengamat sering hanya focus pada bait-bait tersebut saja, bukan syair gending dalam kesatuan utuhnya. Harus dipahami bahwa kurang 1 (satu) dari 4 (empat) bait tersebut, akan menimbulkan perbedaan apresiasi dan terjemahannya. Bahkan bisa keliru dalam menangkap pikiran Penulis Lagu. Bait “Sekar Jenang” yang merupakan situation dan Subyek penceritaan bisa-bisa menjadi terlupakan.

Secara musikalisasi, kalau bait “Sekar Jenang” dianggap lagu tersendiri yang berada pada akhir lagu sebagaiman kedua Gandrung tersebut, maka secara musical Layar Kumendung sengaja membawa penikmat menuruni terasiring colling-down. Pada Layar Kumendung penikmat sengaja digiring gesekan syahdu biola menuju fase pendinginan. Berfungsi sebagai chapter anti-klimak dalam menapaki runtutan rangkaian gending sebelumnya guna menjaga stamina alur pentas. Instrumen selain Biola sengaja baru dimunculkan menjelang outro lagu. walau ujungnya kembali diajak menapaki kenikmatan dinamis pada bait “Sekar Jenang” diakhir lagu. Dan ini rupanya salah satu alasan mengapa kedua Gandrung membalikkan susunan bait awal, untuk menempatkan pada puncak klimak kenikmatan di ending lagu ?

(elvin hendratha-Lumajang 24092018)