Potret Perjuangan dan Kisah Para Pahlawan dalam Gendhing dan Syair Banyuwangi

(Apresiasi dan telaah gendhing Banyuwangi)

Menurut catatan ARTevac, sejak tahun 1966 di Banyuwangi setidaknya terdapat 3 (tiga) gendhing yang bercerita semangat heroisme. Pertama gendhing “Pahlawan Bangsa”, lalu “Kembang Kirim” dan “Perjuangan 45”.

Mari kita perhatikan gendhing ciptaan BS Noerdian “Pahlawan” yang syairnya ditulis oleh Mas Soepranoto, mantan pejabat Dipenda Pemkab Banyuwangi yang juga mengaku masih keturunan Raja Tawangalun.

PAHLAWAN
Lagu/Lirik : BS Noerdian/Mas Soepranoto

Pahlawan bangsa
Riko gugur Ikhlas nerima
Tanpa ngersulo
Ninggalaken anak rabin rika

Pahlawan bangsa
Saikine rika dadi mustika
Mapan ring panggonan hang mulya
Dipuja-puja, pinujo-puja


Lagu ini dikenal sebagai “Pahlawan Bangsa”, ARTevac dalam menulis judul lagu menyesuaikannya dengan kaset album Moto-Moto Kidang tahun 1974 bertuliskan “Pahlawan” saja.

Syair lagu dibuat singkat, hanya terdiri 2 (dua) bait pendek. Tidak memperlakukan “ Pahlawan” secara berlebihan, tetapi menghujam dan universal. Menukik menuju ke permasalahan, siapa sebenarnya Pahlawan bangsa ?

Secara simpel, pada bait pertama pengarang menyampaikan bahwa Pahlawan Bangsa itu adalah mereka yang gugur berjuang di medan perang. Tidak mengeluh dan selalu ikhlas, walau meninggalkan anak istri saat berperang.

Bait kedua bercerita tentang keberadaan Pahlawan yang sekarang sudah menjadi mustika, tentu karena dimakamkan di Taman Makam Pahlawan. Setiap hari besar nasional, selalu dijiarahi oleh penerus Bangsa, selain keluarga sendiri. Tempat yang mulya, bermandikan sanjungan dan pujian.

Itulah hakekat Pahlawan menurutnya, tentu ini bisa dibantah atau ditambahkan bila ada yang memberi definisi yang berbeda. Bila merunut angkat tahun penciptaan, serta status sosial pengarang lirik yang PNS saat itu. Bisa jadi lagu ini merupakan ‘pesanan penguasa’, guna mengisi ruang kosong arti kata Pahlawan di hati masyarakat Banyuwangi. Dalam menuangkan gagasannya, penulis menjadi berhati-hati. Focus pada inti saja, tanpa narasi yang lebih luas.

Coba bandingkan dengan syair lagu “Kembang Kirim” dibawah ini. BS Noerdian seolah sedang memotret peristiwa Agresi Belanda II di Pantai Boom Banyuwangi. Syair “Kembang Kirim” ini sangat naratif, namun subtansi makna “kepahlawanan’ juga sangat kental.


KEMBANG KIRIM Lagu/Lirik : BS Noerdian

Sun kirim kembang lan gendhing
Rika pasukan nol nol tiga dua
Hang saiki padha turu kemul bumi
Dipeluk ibu pertiwi

Sak ubengira segara
Sedina-dina njaga kuburiro
Raina bengi ombak pesisir Banyuwangi
Nggendengi mujo lan muji

Waktu dina semono tanggal selikur ulan juli
Tahun petang puluh pitu
Ati lan jantung ditembus peluru
Pitulas pahlawan adus getih didrel serdadu Londo

Ambi mesem matiniro, lila ngembangi negara
Sak durunge sira mati
Pesisir Banyuwangi riko belani
Timbang nyerah nang Landa
Aluk mati kanggo mbelo negara

Mung sithik penjalukiro
Nembang Indonesia Raya lan Merdeka
Tekad hang murub ring dodo
Sampek mati terus digowo


Proses kreatif “Kembang Kirim” dilatar belakangi pengarang lagu yang dulu saat masih mudanya aktif di Pramuka. Ditulis saat dirinya sedang berada di Pantai Boom, setelah melihat Makam yang berreplika Kapal Perang. Pengarang mendapatkan kisah herois tersebut dari adiknya Badroes Syahlana (anggota AL Banyuwangi) yang lolos dari peristiwa tersebut. Tidak heran, bila pengarang sangat detail dalam menceritakan peristiwa itu melalui lagu. Baik dalam mengilustrasikan kondisi makam Pasukan 0032 ALRI (Angkatan Laut Republik Indonesia), maupun saat terjadinya peristiwa kontak senjata dengan Belanda.

Cerita herioik Pasukan 0032 dalam pertempuran mendadak dan tidak seimbang tersebut sungguh sangat memilukan. Anggota pasukan yang tertangkap musuh (Belanda), tetap tidak mau menyerah. Lihat bait terakhir, sang penjuang meminta waktu kepada musuh, agar diberi kesempatan menyanyikan Lagu Nasional “Indonesia Raya” dan memekikan kata “Merdeka”.

Dengan diksi yang lebih menawan serta diskripsi lokasi yang komplit, seakan pendengar lagu ini diajak menuju Pantai Boom. BS Noerdian serasa ingin bercerita, terutama pada generasi muda : “Dibalik indahnya panorama Pantai Boom, menyimpan perjuangan keras yang memakan korban dalam mempertahankan kedaulatan negara”.

Berbeda dengan lagu “Perjuangan 45” karya Wiroso, coba perhatikan syairnya sebagai berikut :


PERJUANGAN 45
Lagu/Lirik : Wiroso

Perjuangan petang puluh lima
Kabeh rakyat padha ngusir Landa
Landa mulih teka Indonesia
Indonesia saiki merdeka

Pemudha kang ngalas padha mulih
Gambar Garuda iku lambange
Merah putih yara benderane
Pancasila iku landasane

Indonesia tanah kang subur
Urip rakyat wis padha Makmur
Murah sandang kelawan pangan
Indonesia saiki wis aman

Indonesia sukses pembangunan
Kabeh rakyat pada kegirangan
Rika gampang golet pegawaian
Aja mandheg rika ya ring dalan



Wiroso tidak mau serumit pengarang lagu sebelumnya, diksinya sangat cair dan dangkal. Perhatikan kata-kata seperti : Pembangun, Aman, Makmur, Subur, Sandang Pangan, dan lain sebagainya. Saya mencurigainya sebagai diksi pesanan.

Wiroso sepertinya tergesa-gesa. Wiroso nyata menyingkat pendek perjalan sejarah panjang Indonesia. Dari penjajahan Belanda, langsung menuju ke masa kemerdekaan RI. Rentang waktu tahun 1942 sd 1945 pada masa pendudukan Jepang sengaja dihilangkan

Tetapi lagu “Perjuangan 45” saat itu sangat populer di Banyuwangi, setiap peringatan Agustusan di kampung-kampung Banyuwangi. Dengarkan kaset versi Gandrung Koesniah, dimana Wiroso bertindak sebagai tukang keluncing, atau pengundang. Wiroso mampu memompa suasana menjadi lebih atraktif dan komunikatif di telinga pendengarnya.

Sebenarnya bila kita perhatikan lagu yang berkembang sekitar tahun 1979-an ini, adalah lagu Puji-Puiian syair Tamba Ati di masjid Ponpes Kepundung, Srono. Influence yang disebabkan santri-santri mencomot lagu Wiroso, atau Wiroso yang aktivis Lesbumi Genteng serta dekat kalangan Ponpes, justru yang mengambil lagu puji-pujian, mengisinya dengan syair di atas. Wallahualam.

Pengertian tentang “Perjuangan”, “Pahlawan” dan “Bela Negara” , sebenarnya lebih lengkap bila kita perhatikan pada lagu “Padha Nginang”. Lagu karya Endro Wilis sangat lengkap menceritakan perjuangan dan bumi Belambangan. “Padha Nginang” diciptakan sekitar tahun 1950-an, bercerita tentang cinta daerah, kearifan lokal dan nasionalisme.

Karena konstelasi politik, lagu heroik ini sempat dilarang beredar Pemerintahan Orde Baru. Kiasan padha nginang, yang ingin menjadikan Bumi Belambangan Abang mberanang, ditafsirkan berbeda. Frase-frase, seperti Buruh Tani dianggap bermakna politis, Ataukah memang benar Endro sengaja mengirimkan pengkodean yang samar ? Walau sebenarnya bila diperhatikan secara kesastraan pada syair Padha Nginang, Endro Wilis terlihat sangat ekspresif dan bebas melakukan penggambaran tentang Pahlawan, Perjuangan dan Bela Negara.

PADHA NGINANG Lagu/Lirik : Endro WIlis

Padha nginang, wong Belangbangan nolak penjajahan
Dalem Puger nyerbu VOC Perang Puputan
Agung Wilis langsung mimpin perang gerilya
Haram mundur awak ajur ilang kubure

Podho nginang soyo abang rakyat blambangan
Soyo branang, soyo murup perlawanan
Akeh pati dadi kembange bayu alit
Rakyat bayu lanang wadhon belo pati

Ojo ngiro perang leren rakyat wedi paman
Tetes getihe Agung Wilis belo pati
Mekne Londo tambah edan nyebar pepati paman
Rakyat bayu lanang wadhon belo pati

Jogo pati Sayu Wiwit sayu geringsing paman
Kembange loyor pasrah nyowo mageri bayu
Carane gendhing karang abang bumi gonjang ganjing paman
Sahinggo ludes omah sawah dadi awu

Ojo dikiro rakyat terus turu
Ojo dikiro rakyat mendem candu
Tekate ate muruping bedewang
Merah putih podho gudrah dubang

Ojo dijiro rakyat leren nginang
Dendame ati mbedos sing wes tahan
Dadio udan mimis banjiro rah
Angur mati tinimbang nyerah

Wis wayahe kembang mawar podho mekar
Wis wahaye ayo konco podho nginang
Buruh tani dadi siji gegandengan
Mekne gelis tanah iki dadi abang
Yo podho nginang

Namun demikian melalui tebaran kata kepatriotan, lagu-lagu tersebut telah hadir di hati masyarakat Banyuwangi. Mampu menyumbangkan pondasi kuat dalam membentuk kecintaan terhadap Tanah Air. We Love Indonesia.

DIRGAHAYU INDONESIA !!!

Lumajang, 15 Agustus 2019
- Elvin ARTevac and team -