Gandrung Sewu 2019 – Panji Sunangkoro




Gandrung Sewu 2019 – Panji Sunangkoro
Ditulis oleh : Elvin Hendratha

Perhelatan festival Gandrung Sewu (GS) tahun 2019 di Pantai Marina Boom Banyuwangi telah dilaksanakan tanggal 12 Oktober 2019. Sejak tahun 2012 agenda tahunan Gandrung Sewu telah menujukkan eksistensinya, memberikan warna tersendiri bagi dunia berkesenian di Banyuwangi. Sewindu GS telah menyuguhkan ragam thema penampilannya, mulai dari “Jejer Gandrung” (2012) sampai “Panji Sunangkoro” (2019).

Panji Sunangkoro ditetapkan menjadi thema tahun 2019. Pada proses pemilihan thema -khabarnya- sebelumnya sudah 3 (tiga) naskah terpaksa harus dianulir. Bila kita perhatikan daftar diatas, maka diluar “Panji Sunangkoro” semua thema menunjukkan korelasi dengan kesenian Gandrung. Ketujuh thema menunjukkan hubungan dengan : Struktur Penyajian dan Judul Gendhing Gandrung. Lalu mengapakah pilihan jatuh kepada Panji Sunangkoro, bukankah Thema tentang Gandrung masih relative banyak ? Tentu saja proses brainstorming serta pemilihannya, telah dilakukan pihak terkait dengan pertimbangan berdasarkan alasan kuat. Pertimbangan yang tentu saja bukan didasarkan kejenuhan bercerita fragmen Gandrung semata, sehingga perlu harus disodorkankan alternative thema fragmen lainnya. 

Jika Struktur Penyajian telah habis disajikan, maka pilihan berlanjut meneruskan Gendhing Gandrung. Dalam catatan T.Ottolander dalam Gandroeng Banjoewangi, saat congres Java Instituut di Bandung pada tanggal 17 sd 19 Juni 1921 ada 13 (tigabelas) gendhing Gandrung Klasik Banyuwangi, antara lain : Tjengkir Gading, Oekir Kawin, Salatun, Giro Bali, Goenoeng Sari, Angleng, Lebak-lebak, Rembe, Dril, Tetel, Oega Oega, Tjapgomeh dan Lia Lioe. Padahal semuanya bisa dijadikan bahan bakar pilhan thema penyajian serta penggalian napak tilasnya. Belum lagi catatan Joh Scholte pada Gandroeng Van Banjoewangi, saat congres Java Instituut di Soerabaja pada tanggal 23 sd 27 September 1926, yang mencatat masih terdapat 80 (delapan puluh) nama gendhing klasik yang berlainan dan lebih dari 100 (seratus) wangsalan / basanannya.

Gandrung Sewu yang telah menjadi “100 Calendar of Events 2019”, memiliki konsekwensi pertunjukkannya harus terus tersaji secara periodik. Pertunjukkan harus tetap eksis adaptif, mengikuti tuntutan “sikon”, “jaman” dan “Stakeholder”. Harus terus berproduksi sesuai target waktunya, yang akhirnya mendesak seniman terus ber-“Kreasi”. 

Pergerakan pilihan dalam penyajian tak terhindarkan. Perubahan seperti : Penari berkostum kaos coklat lengan panjang, dianggap lebih “agamis” serta “sopan”. Atau perubahan mode penari gandrung mengenakan “Rok Batik”, dimaksudkan agar lebih leluasa berlarian diatas pasir. Tentu saja hal-hal tersebut menjadi pilihan menarik “Gandrung millennial” untuk belajar menari secara instan. Tidak diperlukan ketrampilan khusus untuk menarinya, berbeda dengan kandungan makna filosofi menggunakan Sewek seperti Gandrung Terob yang implementasinya dianggap tidak praktis. Juga pada adegan chapther anak-anak yang bersuka cita menyambut orang tuanya berjuang, anak-anak dikenakan kostum baju kebaya hitam beromprok. Gambaran citraan mata untuk membedakannya dengan “Gandrung” yang sesungguhnya, bahwa anak2 tengah giat berlatih menari dan menyanyi. Kesenian terus bergerak cepat tak terbantahkan, bergerak agresif dinamis di bumi Blambangan. Semuanya untuk menjawab tuntutan penyajian “profun” secara periodic kepada “masyarakat luar Banyuwangi” dalam kemasan kolosal. 

Padahal terkait teori adaptif tersebut seharusnya lebih mengarah ke "cultural contact / encountering", perjumpaan budaya, yang memungkinkan para pelaku menyerap dan mentransformasi ragam budaya luar dan mendialogkannya dengan budaya lokal. Tujuannya, agar para pelaku budaya bersifat terbuka dan lentur dalam mengadaptasi pengaruh luar, tanpa harus melupakan yang tradisi. Smoga sudah dilakukkan pada event yang melibatkan ribuan penari ini.

Menelisik Musik Gandrung Sewu 2019

Sebelum kita mencoba menelisik perubahan yang terjadi pada musik Gandrung Sewu 2019, ada baiknya kita mengetahui siapa saja yang terlibat didalam event kolosal tahunan tersebut.

Art Manager : drh. H. Budianto M.Si, MM. dan Suko Prayitno
Sutradara : Agus Dwi Cahyono
Astrada : Anton – Riska dkk
Koordinator Team Kreatif / Property : Nurcholil
Edukasi Prog, Koreografi & Tata Rias : Tim Patihsenawangi
Penata Musik : Adlin Mustika dan Mulyadi
Penulis Naskah : H. Abdullah Fauzi
Dewan Pengarah : Cabang Dinas Pendidikan Jawa Timur di Banyuwangi.
Dinas Pendidikan & Camat seKab Banyuwangi
Produksi : Pemerintah Kabupaten Banyuwangi.
Dinas Kebudayaan dan Pariwisata

Skenario Naskah Panji Sunangkoro yang sudah ditulis H.Abdullah Fauzi, diterjemahkan oleh Sang Sutradara. Agus Dwi Cahyono, mengimplementasikannya dalam gerakan tari sebagaimana pengalamannnya. Setelah menerima tongkat estafet dari Sumitro Hadi pada tahun 2016, pengalamannya menggarap event Gandrung Sewu sebanyak 3 (tiga) kali menjadi modal utamanya. Perubahan cepat thema tidak terlalu menyulitkannya dalam hal sajian tari.

Namun Agus rupanya telah mengalami kejenuhan, GS yang digarapnya masih terus berkutat pada konsep yang sama. Agus menjadi terobsesi melakukan terobosan besar dalam hasil karyanya. Gandrung Sewu yang kolosal dari segi jumlah peserta, diobsesikannya juga kolosal pada ruang lingkup hasil karyanya. Pertemuannya dengan Ridwan, sang Empu Gamelan dari “Rumah Produk Gamelan” yang mereksperiment komposisi Larasan baru dianggapnya bisa memaksimalkan karyanya.

Konon ketika melihat penampilan group tabuhan di Bali yang memadukan Laras Pelog dan Selendro dalam satu instrument, “Sang Empu Ridwan” terinspirasi untuk bisa memadukan antara Laras Selendro Pentatonis dengan laras diatonic barat. Maka lahirlah gamelan “Pitutur” yang memiliki susunan : 3-5-6-7-1-2-3-4-5-6-1-2

Perpaduan antara music Barat (diatonic) dan music timur (pentatonic) sebenarnya sudah ada sejak lama. Musisi India Ravi Shankar telah menginspirasi George Harison memasukkan Sitar dari India sebagai komponen dalam lagu Norwergian Wood. Di negara kita ada Guruh Gipsy mengembara bersama anak-anak Gang Pegangsaan mengawinkan Musik Bali (Pelog) dengan music Diatonis pada album yang bertuliskan “Kesepakatan dalam Kepekatan” pada tahun 1976.

Di Banyuwangi beberapa musisi telah memulai melakukan perpaduan itu. Innisisri yang mengembangkan konsep Kahanan bersama Adnan CS di Banyuwangi pada 30 Agustus 2008, telah berhasil memadukan kesenian hadrah berpadu dengan music modern telah mengantarkannya menuju pengakuan internasional. Namun Innisisiri bermain-main diwilayah instrument pentatonic yang cukup aman. Hadrah Rebana yang tidak memiliki solmisasi dikawinkannya, bukan sebagaimana yang dilakukan Guruh Gipsy yang pada akhirnya memerlukan Gong sebagai penghubung antara pelog dan diatonisnya.

Dalam perjalanan music Banyuwangi : Vokal, Biola, dan “Instrument Non Notasi” seperti : Kendhang, terbang, kethuk, kenong, kluning/ kluncing/ triangle dan Kempul. lebih gampang menerima intervensi nada laras non Slendro. Instrumen Non Notasi lebih adaptif karena tidak terikat pada nada-nada. Sedangkan “Instrument bernotasi” Selendro dan Pelog, umumnya memiliki larasan yang tidak persis sama, baik dalam pitch maupun dalam struktur intervalnya. Selain itu factor kesulitan konversi system tuning dan skala nadanya ke dalam notasi barat, merupakan salah satu penyebabnya.

Hal itu juga berbeda dengan apa yang dilakukan oleh Krakatau ketika berelaborasi dengan Supinah dalam lagu Impen-impenen. Perpaduan apik, namun tetap bermain dalam ruang masing-masing. Bukan melebur menjadi satu, atau salah satu menjadi resesif. Kalau kita perhatikan Vokal pelog dan gesekan biola yg berwisata di laras selendro terjadi sejak lama, seperti terjadi saat vocal pelog menginvasi gendhing “Kembang Pepe” dan “Kriping Sawi” yang diiringi instrument Selendro. Pada kedua lagu ini, vocal dan biola keduanya bernyanyi bersama pada nada Pelog dengan iringan tabuhan Selendro. Perhatikan juga saat biola yang bermain pentatonic pelog dalam gendhing Jejer Gandrung. Ketika memasuk fase awal “Tinjakan” justru berubah masuk ke Selendro yang kemudian dilanjutkan dengan gendhing Podho Nonton. Kendati impen-impenen sekedar perpaduan dalam ruang olah vocal, tetapi selain Geroge Horison perpaduan didalam instrument juga dilakukan Deep Forest. Kelompok yang pernah masuk dalam nominasi sebagai album music terbaik di Grammy award 1994, lebih agresif berkeliling untuk berpadu dengan berbagai alat music dari Afrika, Brazil, Hawai dan India. Deep Forest juga tetap bermain didalam ruang yang berbeda. Kembali kepada apa yang dilakukan oleh Empu Ridwan. Konsep Ridwan berbeda dengan Deep Forest, Guruh gipsy, Innisisri/Adnan, atau Supinah/Krakatau, tetapi Ridwan justru menawarkan perkawinan material 2 (dua) wilahan gamelan dalam satu keranjang.

Ridwan memadukan laras diatonic dan selendro dalam satu ancak, gamelan Banyuwangi detuning larasnya menjadi diatonic barat dan dijejerkan beririsan dengan wilah angklung selendro Banyuwangi. Menyeret tuning frekuensi diatonic kedalam wilahan gamelan Banyuwangi sebenarnya sudah sejak Pebruari 2002 telah dilakukan, yaitu pada saat POB (Patrol Orkestra Banyuwangi) merilis album Layangan. Respon masyarakat menerima apa yang tengah dilakukan Catur Arum dan Yon’s DD, terbukti peredaran kasetnya laris manis. Penikmat music di Banyuwangi bergembira bermain “Layangan”. Peristiwa saat Yon’s DD memukuli wilah tabuhan besi di Aftara Record Jakarta, kelak membuat para musisi Banyuwangi berbondong-bondong merubah gamelannya menjadi bem C#.

Gamelan Pitutur Sang Empu Ridwan, akhirnya menjadi satu pilihan resources yang mendukung penampilan Gandrung Sewu 2019. Agus Dwi Cahyono telah mengambil sikap, saya yakin beliau sudah mengkalkulasinya. Perubahan yang telah diukurnya akan mengantarnya kepada 2 (dua) pilihan : menjulangkannya atau membebenamkannya kedalam catatan perjalan music Banyuwangi. Penerjemahan naskah kontroversial dari H. Abdullah Fauzi kedalam gerak tari telah dilakukannya, Agus mengetahui bahwa dia memerlukan Tim Penata Musik yang handal dan mampu membaca keinginannya.Dipilihnya 2 (dua) orang yang berbeda latar belakang adalah salah satu langkah kudanya. Adlin Mustika seniman muda yang berlatar belakang akademis, dipadukan dengan Mulyadi. Mulyadi adalah seniman tradisi otodidak yang merupakan panjak Pantus Angklung Caruk Bolot yang sangat mahir membuat gendhing2. Tugas berat yang pasti akan membuat kebingungan keduanya saat menerjemahkan tugas yang dibebankan Sang Sutradara, yaitu merangkai cerita fragmen dan gerak tari yang sudah ditetapkan dengan menggunakan mainan baru.

Karenanya tak heran bila pada pelaksanaannya terdengar tabrakan-tabrakan nada yang disebabkan perbedaan laras yang dimaikannya. Tentu saja keduanya memilih bermain aman, dengan mengurangi permainan timpal progresif didalamnya. Selain pertimbangan skill pemain, juga terkait penggunaan instrument gamelan pitutur yang masih baru. Untuk melakukan antraksi timpal dengan gamelan yang baru, diperlukan skill yang tinggi. Letak wilah yang telah berubah dan terpisah-pisah jauh dari pakem yang umum ada. Sementara disisi lain recruitment pemain yang disodorkan, dalam rangka memberi ruang kepada generasi berikutnya yang relative baru belajar.

Jadi teringat apa yang dikatakan oleh Lindsay, Jennifer (1992). Dalam Javanese Gamelan : "The representations of slendro and pelog tuning systems in Western notation shown above should not be regarded in any sense as absolute. Not only is it difficult to convey non-Western scales with Western notation, but also because, in general, no two gamelan sets will have exactly the same tuning, either in pitch or in interval structure. There are no Javanese standard forms of these two tuning systems."



foto by : Budiosing Setiyanto