SLAMET UTOMO, PENYAIR BANYUWANGI DARI ANGKATAN PENERUS


Slamet Utomo lahir di Banyuwangi pada tanggal 09 September 1949. Sastrawan serba bisa yang sangat humble dan pendiam tersebut, menurut Pomo Martadi memiliki kecerdasan yang sangat luar biasa. Hal tersebut juga diamini oleh Mahawan, yang pernah bersamanya menerbitkan antologi Gendhing-Gendhing. Ketiga penyair tersebut aktif bergulat dalam dunia sastra dan budaya di Banyuwangi pada tahun 1976-an. Berbagai karyanya berterbangan diberbagai koran dan majalah pada jamannya. Selain sebagai kolumnis, Slamet juga sangat produktif dalam karya seni lainnya, mulai dari membuat puisi seperti “Suara Malam di Paltuding” sampai dengan membuat lirik lagu “Sembulungan” bersama musisi BS Noerdian yang dinyanyikan oleh Wiwin Andayani.

Bahkan Salah satu artikel Slamet Utomo pada Bali Post Tanggal 15 Agustus 1992 berjudul "Perjuangan Wanita dari Sektor Selatan Banyuwangi" meraih Anugerah Jurnalistik dalam rangka memperingati Hari Kebangkitan Nasional tahun 1993 di tingkat nasional. Penyerahan Anugerahnya berlangsung di Departemen Penerangan Jakarta, 17 September 1993.

Pada saat Lomba Penulisan Puisi Using HUT RKPD Tk. II Banyuwangi VIII, Tahun 1976 ketiganya keluar sebagai para pemenang. Puisi MahawanDehedhali Putih” juara pertama, Slamet Utomo dengan puisinya berjudul “Gendhing Kelapa Gadhing” memenangkan juara kedua, dan puisi “Gerhana” dari Pomo Martadi merupakan pemenang ketiganya. Keputusan memilih yang sangat pelik bagi tim juri. Pada saat itu puisi Slamet Utomo juga dianggap telah berani menyuguhkan penggunaan pola aliterasi. Slamet Utomo berani menawarkan jenis kata benda konkret verbal, yang kemudian ditegaskannya dengan memberinya keterangan. Namun meskipun roh keusingannya kental, sayang sekali diksi Slamet tersandera dalam pengutamaan rima, irama, dan pesan yang ingin disampaikan. Sehingga membuat intensitas imajinasinya berkurang dibanding Mahawan pada saat itu. Tetapi Slamet dengan gagah telah melakukan keberaniannya, menorehkan goresan sejarah sastra Banyuwangi melalui penanya. Dalam pembagian perkembangan Periode sastra Using modern, Slamet Utomo telah menapaki 2 (dua) periode karya sastra pada jamannya. Jejak rekamnya tercatat ketika tergabung dalam “Angkatan Penerus” (1976 sd 1990). Saat periode “Angkatan Penerus”, Slamet Utomo berkumpul bersama penyair Using seperti : Hasnan Singodimayan, Suroso (Mas Kakang), Mahawan, Pomo Martadi, Uun Haryati, Joko Pasandaran, Wawan Setiawan, dan Nirwan Dewanto. Pada periode “Angkatan Sastra Jurnalistik” dimulai pada tahun 1990, yang sebagian besar berasal dari “Angkatan Penerus”. Slamet Utomo tetap rendah hati berteman dengan penyair-penyair muda lainnya seperti : Adji Darmadji, Abdullah Fauzi, dan Sentot Parijoto.
Slamet Utomo Sang Pemandu Bakat
Pada tahun 1985 sampai dengan 1988, penulis belajar kepada Slamet Utomo. Berbagai ilmu seni budaya yang diajarkannya. Teringat ketika berbisik tak henti memberi petuah diatas bis Banyuwangi-Jember, kondisi berbeda dari sosok diamnya. Suatu saat mengajak penulis berboncengan motor menuju Pantai Grajagan, sekedar melatih merasakan rasa desiran ombak dan angin yang amboi disana. “Coba perhatikan tehnikku mewawancarai” ujarnya suatu ketika didepan rumah Maestro Lukis S.Yadi K. Tehnik mengajar Slamet Utomo masih terus terkenang. Sentot Parijoto, panyair Using memiliki kenangan yang tak terlupakan juga tentang sosok Slamet Utomo. Sentot Parijoto kali pertama bertemu Slamet Utomo pada sekitar tahun 1993, pada acara sebuah Seminar di DPRD Kabupaten Banyuwangi. Di tengah-tengah acara yang sedang break, Slamet Utomo mendekatinya, mengajak ngobrol Sastra Using dengan akrab. Tampaknya Slamet sudah mengamatinya sejak membaca Gurit Using karya Sentot yang dimuat Surabaya Post Minggu pada kolom “SUKET”. Sentot bersama penyair muda lainnya saat itu, seperti : Abdullah Fauzi dan Adji Darmadji kerap nulis puisi berbahasa Using pada tahun 1990-an di Surabaya, selain juga di Majalah Bahasa Jawa, Jayabaya dan Penyebar Semangat, keduanya terbit di Surabaya. Sentot diajaknya ke rumahnya, untuk dikasih kumpulan Puisi Bahasa Using stensilan karya Adji Darmadji. Pembicaraan terfocus pada bahasan kumpulan Gurit berjudul “Juru Angin”. Sentot yang tak mengenal secara langsung Adji Darmadji hingga kini, justru diajak Slamet Utomo membahas karya Adji secara objektif. Diajaknya berdiskusi serius, bagaimanakah diksi dan tehnik merangkai kalimat dari Adji Darmadji. Sentot Parijoto didorongnya membuat resensi dari buku stensilan Adji Darmadji tersebut dan dimuat di Bali Post saat itu. Berbagai artikel bersliweran di berbagai media, mulai dari tulisan Sentot Parijoto, Pomo Martadi dan Slamet Utomo. Kelak polemic tentang pembahasan karya stensilan Puisi Bahasa Using dari Adji Darmadji tersebut menjadi salah satu tahapan pondasi bagi kemajuan dunia sastra di Banyuwangi. Menurut Sentot, Slamet Utomo adalah penyair bertangan dingin. Tetangganya di Parijatah Banyuwangi, dibimbingnya menjadi jurnalis dan punya tabloid. Slamet bukan orang yang pelit ilmu dan bisa memilih orang yang tepat untuk diberikan ilmunya. Seperti halnya dalam menangkapnya, karena tidak perlu menggunakan Bahasa verbal untuk minta dibimbing. Slamet Utomo memang memiliki kemampuan membaca talenta terhadap yang memiliki bakat dan keinginan tersebut. Merekalah yang akan dibimbing secara sukarela. Nama jurnalis dan sastrawan Banyuwangi yang ternyata sangat membekas di hati koleganya adalah Slamet Utomo. Setidaknya itu diungkapkan Toto Sonata, jurnalis senior yang aktivis Bengkel Muda Surabaya dan Dewan Kesenian Surabaya. Kisah polemic kebudayaan di media massa dengan Slamet Utomo pada pertengahan tahun 1970-an, membuat Toto mengakui kecerdasannya. Sebagai seniman yang tinggal di daerah ternyata pengetahunya tentang seni-budaya diakui Toto sangat komplit. Setelah Polemik mereda, Toto Sonata bahkan sengaja datang ke Banyuwangi sebagai ungkapan kekagumannya terhadap sikap dan pemikiran Slamet Utomo. Berikut ini adalah salah satu karya dari Slamet Utomo yang memenangkan Juara II Lomba Penulisan Puisi Using HUT RKPD Tk. II Banyuwangi VIII, tahun 1976.

GENDHING KELAPA GADING
Karya : Slamet Utomo
Kadhung kelapa gadhing ring mburine omah wis wayahe diundhuh
Anak isun hang paling cilik, emak
Sun cethuti sampik nangis
Cindhe mayang kembang kenanga
Umbul umbul srengenge kayu bendha
Sun tunggak ring latar
Sun pajang kemanten anyar
Kadung kelapa gadhing ring mburine omah wis wayahe diundhuh
Sun rungokaken silire angin, ring pucuk wengi
Sun rungokaken manuk prenjak
Nawi tah ana tangise bayi
Tangis kelara lara, tangise bapak sing ana
Tangise mak mati, lawan sing ana.
Slamet Utomo telah pergi menghadap Sang Khalik pada tanggal 13 Januari 1999, tetapi debut langkah kiprahnya bagi seni dan budaya Banyuwangi tetap selalu terkenang…Saya dedikasikan tulisan ini buat guru saya Slamet Utomo Lumajang, 25 Desember 2019 Elvin Hendratha


Slamet Utomo (tengah) saat meliput penyu bertelur di pantai Rajegwesi
dengan Pomo Martadi (kedua dr kiri), Dariharto (ketiga dr kanan), isun ( paling kiri)

Slamet Utomo dengan Bupati Banyuwangi Kol Inf. (Purn) HT. Purnomo Sidik
pada sekitar tahun 1991

Slamet Utomo (berbaju biru) dengan teman-temannya
di depan Balai Wartawan Gesora Blambangan.