HADRAH NUSANTARA DALAM SEABAD NAHDLATUL ULAMA DI BANYUWANGI

HADRAH NUSANTARA DI BANYUWANGI
(catatan peristiwa budaya dalam pembangunan peradaban).


Rangkaian kegiatan Satu Abad Nahdlatul Ulama, memilih Banyuwangi sebagai salah satu tempat perhelatannya. Sembilan rangkaian program direncanakan  telah selesai dilakukan di tiga kota : Jakarta, Nusa Dua Bali dan Malang. Pemilihan Banyuwangi sebagai kota keempat, berdasarkan pertimbangan latar belakang sejarah perjalanan Nahdlatul Ulama dan potensi budaya masyarakat Banyuwangi. Bumi dimana Sholawat Badhar diciptakan KH. Ali Mansur Siddiq.

Saatnya tiba. Senin tanggal 09 Januari 2023 ribuan Nahdliyin memadati Stadion Diponegoro Banyuwangi. Tokoh-tokoh struktural dan non struktural dari Nahdlatul Ulama, seperti : KH. Miftahul Ahyar, KH. Yahya Cholil Staquf, Habib Syeh bin Abdul Qodir Assegaf, terlihat duduk di panggung utama bernuansa putih bersama Presiden Joko Widodo. Presiden Jokowi yang paginya baru saja melakukan pertemuan dengan Perdana Mentri (PM) Malaysia Anwar Ibrahim di Istana Bogor berkenan hadir bersama beberapa mentrinya (Machfud MD, Eric Tohir, Abdullah Azwar Anaz dan Pramono Anung).

HADRAH NUSANTARA

Persiapan diawali dengan workshop dan pembuatan master konsep yang dimulai tanggal 04 November 2022 di Sanggar Golek Dulur Banyuwangi. Sebanyak 16 (enam belas) musisi tradisional muda dengan peralatan : Terbang, Jidor, Kethuk, Kendhang, Gong dan Suling, membantu pembuatan master konsep yang akan menjadi sajian puncak acara pada kegiatan Satu Abad Nahdlatul Ulama. Didalam penggarapan master konsep tampak beberapa seniman : Muh.Ikhwan (Cak Wan), Yon’s DD, Jajoelaidi (Kang Joel), Slamet Abadi (Edi Kanthong), Pungky Hartono, Adlin Mustika, Nuno Sutedjo, Achzany Ilhamy, Riboet Kalamboean, dan Syaiful

Team bekerja dengan pembagian job discription berdasarkan kompetensi bidang masing-masing. Pungky Hartono dipercaya selaku arranger. Achzany Ilhamy penata geraknya. Adlin Mustika sebagai koreografer pentas. Jajoelaidi (Kang Joel) selaku koreografer Penari Kuntulan, Pesilat dan Banser. sementara Yon’s DD dan Nuno Sutedjo sebagai quality insurance hasil proses sajian. Formasi berdasarkan pembagian job discription semacam ini, menjadikan para seniman merasa lebih independen. Berkarya sesuai keinginannya tanpa didikte pihak manapun, sehingga terlihat lebih mampu menghasilkan hasil yang maksimal.    

Latihan masal dilakukan sebanyak 8 (delapan) kali pertemuan, 4 (empat) kali berlatih di halaman Masjid Cheng Hoo dan 4 (empat) kali berlatih di Stadion Diponegoro. Berbeda dengan Harlah 70 (tujuh puluh) tahun Muslimat NU di Stadion Gajayana Malang tanggal 26 Maret 2016, yang tercatat MURI dalam rekor kuantitas orang yang menabuh 50 ribu rebana. Sajian konsepnya jelas berbeda, lebih fokus pada keinginan menunjukkan kualitas bermusik dengan penonjolan kompetensi penerbang Hadrah berasseoris Kundaran. Sajian melibatkan 777 pemuda-pemudi Banyuwangi. Terdiri dari 292 Penerbang (penabuh rebana), 110 Penari Kundaran, 300 kader Banser (Barisan Ansor Serbaguna), 75 orang  kader pesilat dari PS.Pagar Nusa.

Sajian Hadrah Nusantara ditampilkan seusai penampilan pembuka, berupa pembacaan Nadhom Alfiyah Ibnu Malik yang dilakukan oleh 565 orang santri, yang dirangkai dengan pembacaan Sholawat Nahdliyah bersama artis Veve Zulfikar dalam tajuk Lalaran Alfiyah Kolosal. Santri-santri itu berasal dari seluruh pelosok Nusantara dan sedang belajar di 5 (lima) Pondok Pesantren Banyuwangi, yaitu : PP. Darussalam - Blokagung, PP. Mambaul Huda - Krasak dan PP. Mabadiul Ihsan Karangdoro (KecTegalsari), PP. Mambaul Ulum - Muncar dan PP. Raudlatussalam –Glenmore. Acara pembukaini membuat Presiden Joko Widodo jatuh hati melihat penampilan Izul (Penabuh Kendang muda) dan Syarofah (vokalis). Hadiah sepeda sebagai wujud keakaraban diterima mereka setelah dipanggil di atas podium kehormatan.

Kembali kepada sajian Hadrah Nusantara, yang menjadi acara puncak malam itu. Awal penampilan dibuka dengan alunan suara suling yang ditiup oleh : Mai, Riyan dan Krisna (Timun). Formasi Desis suara suling terdengar syahdu. Perpaduan suara notasi Banyuwangi dan Kalimantan terdengar mengalir, seperti sengaja membuka frekuensi penikmat dengan bungkusan Notasi Nusantara. Perhatikan tiupan suara suling Rian yang menghasilkan suara Karinding, seperti hendak berkata : "Banyuwangi adalah miniatur Indonesia".

Kemudian terdengar suara 10 (sepuluh) Jidor ditabuh menderap, suara koor dzikir Ya-Huallah menyambung dilakukan Pungky Hartono, Nuno Sutedjo dan Slamet Abadi (Edi Kanthong). Sholawat dan kalimah-kalimah tauhid dikumandangkan Suhada, menjadi pertanda untuk barisan Penerbang mulai maju melangkah  membentuk formasi 4 (empat) penjuru angin, terus berjalan seraya mendekap erat terbang (rebana). Begitu formasi sempurna membentuk formasi, terdengar Muh Ikhwan (Cak Wan) lantang menyapa penonton dengan Laikan khas Osing diiringi Suling dan Panthus. “Oeeeee oeeee  Satus taun umure NU, oeeeeeeeeeee bisa nggawe tentreme Nusa lan Bangsa”, sontak barisan penerbang bergerak gagah dengan memukul terbang serempak,  terdengar alunan Sholawat membahana. 

Hadrah Nusantara kental bermuatan musik tradisi Banyuwangi, mengkombinasikan pukulan Unison dan Ginjoan, dengan dipadu tehnik pukul timpal Kuntulan. Beberapa tehnik pukul timpal dan sincope rumit Banyuwangi lainnya, seperti sengaja disimpan. Tampaknytehnik pukul yang disajikan telah mampu membombardir suasana dan membawa larut penikmat, bahkan tangan Presiden Jokowi menjadi terus dinamis bergerak mengikuti irama sajian. KH. Yahya Cholil Staquf dan Habib Syeh bin Abdul Qodir Assegaf  terlihat begitu menikmati, mengikuti spontan alunan Sholawat Badar dan Subbanul Wathon menandakan suka citanya.

Lokasi perhelatan Hadrah Nusantara di lapangan Diponegoro Banyuwangi, memiliki kekarakteristikan tersendiri. Suara tabuhan terdengar menimbulkan suara menggaung gema membalik, ini sangat membingungkan konsentrasi penabuh. Penerapan atraksi dengan menggunakan beragam tehnik pukul Hadrah Banyuwangi, seperti tehnik Timpal Telon, Timpal 5 dan 4, Yahum, atau Krotokan, tentu saja tidak bisa dipaksakan. Terlihat 10 (sepuluh) Jidor di kanan kiri panggung, dipasang tidak lurus secara horisontal. Dengan cerdik Jidor diarahkan menghadap ke perut bumi, sebuah mitigasi agar suara yang dihasilkan membumi tidak bergema berlebihan.

Tampilan lantunan Serakalan (tradisi membaca kitab Barzanzi) terdengar begitu menarik, ketika dibawakan menggunakan lagu kuno. Cara pembawaan membaca Barzanzi semacam itu, sudah nyaris tak terdengar lagi sekarang. Misalnya pada bagian : “Solla’alaikallah huya adnanni, ya Allah. Ya musthofa ya saf watar rahmanni, ya Allah.” serasa dibawa menuju kedalaman jaman lampau. Sajian reportoar malam itu memang dibagi beberapa urutan : Sholawat Badar, Subbanul Wathon, Thola’ Al Baderu Alaina, serta menyelipkan Lagu Nasional : Tanah Airku (ciptaan : Ibu Sud).

Pembawaan Sholawat Badar, sengaja disajikan dalam 3 (tiga) cara lagu penyajian, termasuk dengan menyelipkan pesan kebajikan, sejarah, syariat, dan catatan peristiwa dengan berpantun menggunakan Bahasa Indonesia dan Bahasa Osing/Using. Puji-pujian berbahasa Osing/Using khusus Nadhatul Ulama juga tak ketinggalan diselipkan. Bahkan peristiwa kehadiran Presiden Jokowi pada peringatan seabad Nahdlatul Ulama malam itu, sengaja dipotret kedalam syair dalam nyanyian pantun. “Ke Tawamangu beli minyak wangi, ke wonogiri beli keripik sawi, Harlah NU di Banyuwangi, dihadiri pak Jokowi“.  Langkah cerdas menuliskan catatan peristiwa menjadi legacy artefac, karena akan terus abadi dikenang, tak lekang dimakan jaman. Sementara itu suara solo dan koor yang terus berkumandang sepanjang sajian, dinyanyikan oleh : Muh Ikhwan, Suhada, Dayat (vokal dewasa) dan Damar, Lintang, Suci (vokal kecil). 

Selintas sajian Hadrah Nusantara yang ditutup dengan atraksi Pagar Nusa dan Banser tersebut, seperti merekontruksi Kuntulan Dadaran (Kundaran). Namun bila diperhatikan, konsep sajiannya sangat berbeda, lebih menitikberatkan ke dalam konsep bermusiknya. Penampilan kolosal dan pengelolaan benturan antara kutub musik sekuler serta religius mampu dikelola baik, yaitu dengan menggunakan pondasi besar pengetahuan idiom lokal Banyuwangian, dengan tanpa kehilangan rasa religiusnya. 

Secara keseluruhan penampilan sajian Hadrah Nusantara dari para Seniman dan Nahdliyin Banyuwangi, pada acara Satu Abad Nahdlatul Ulama malam itu sangat baik, sukses luar biasa, mampu mengundang decak kagum penikmatnya. Salam buat : Kang Udin dan Kang Son selaku panitya dan semua personil yang terlibat dalam kreasi dan penampilan didalamnya pada malam itu. Termasuk Kang Ilham "Keris" yang sempat dilarang masuk Paspampres. Salam sukses untuk semuanya. Tabik !!!

Probolinggo, 10 Jan 2023

Ditulis Elvin Hendratha

====================
DAFTAR
PENERBANG (PEMAIN REBANA) HADRAH NUSANTARA DI BANYUWANGI









Komentar